Anunga Dharma Ing Loka: Metafora Wayang Lemah Dalam Busana Sexy Alluring
DOI:
https://doi.org/10.59997/bhumidevi.v5i2.6039Keywords:
Tradisi Wayang Lemah, Metafora, Busana, Sexy AlluringAbstract
Tradisi wayang lemah (wayang gedog) merupakan pementasan wayang yang dilaksanakan hanya pada siang hari (lemah), awalnya pementasan ini dilaksanakan pada tahun 1980 dan dikembangkan hingga saat ini. Wayang lemah ini adalah salah satu wayang yang di sakralkan, ketiga wayang tersebut ialah wayang sudhamala, wayang lemah, dan wayang sapuh leger. Berbeda dengan pementasan wayang pada umumnya, pementasan wayang lemah ini tanpa layer atau kelir dan lampu belencong melainkan hanya menggunakan gedebong atau pelepah pisang, benang tukelan, kayu pohon dadap, dan keropak. Wayang lemah ini merupakan pementasan ngiring pedanda atau disebut juga dengan pementasan pengiring pedanda. Pementasan wayang lemah sampai sekarang kerap dipertunjukkan untuk memberi pelajaran dharma untuk masyarakat di Bali. Oleh karena itu penulis ingin menunjukan dan memperkenalkan tradisi wayang lemah ini dalam bentuk penciptaan busana dipadukan dengan gaya sexy alluring. Penciptaan karya busana ini menggunakan teori Frangipani: The Secret Steps of Art Fashion oleh Ratna Cora. Penciptaan busana Ready to Wear, Ready to Wear Deluxe, dan Semi Couture menggunakan gaya bahasa metafora. Penciptaan karya ini diharapkan dapat mengedukasi masyarakat mengenai adanya tradisi wayang lemah di Bali yang merupakan salah satu kekayaan budaya yang memiliki nilai kearifan lokal.
Downloads
Published
Issue
Section
License

This work is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International License.





